Selasa, 28 Januari 2014

Tulisan Ilmiah

Filsafat Budaya Lokal Makassar

Abstrak
Sejatinya  diadalam kehidupan  sekarang ini Pengembangan kemamapuan Mahasiswa dalam bidang beretika merupakan salah satu kunci keberhasilan penigkatan kemampuan dalam memasuki era Global yang semakin menuntut “polarisasi” Mahasiswa dengan lingkungan sebagai Agent of Change, moral force, iron stock, dan social control.
Pada prinsipnya, Filsafat yang juga terkandung dalam kebudayaan di tiap daerah membekali manusia kemampuan berbagai cara “mengetahui” dan cara ‘mengerjakan” sesuatu yang dapat membantu Manusia memahami alam sekitar secara mendalam.
Sejak dini sebaiknya budaya sudah dilibatkan dalam proses kehidupan sesuai taraf perkembangannya intelektual generasi muda, sehingga pada gilirannya generasi selanjutnya akan memiliki keterampilan proses dalam beretika dan berbudaya lokal yang saling bijaksana dari Sabang hingga Merauke.

Yogyakarta, 20 Desember 2014

Andri Apriyan Kusumah
Kata Pengantar

Alhamdulilah puji syukur kepada Alah SWT yang telah memberikan pengetahuan dan tidak lupa sholawat serta salam moga tercurah kepada nabi akhir zaman Nabi Muhammad SAW.
Pada dasarnya tujuan akhir dari penulisan makalah ini ialah agar rekan-rekan mahasiswa dapat memahami tentang Filsafat kebudayaan dan kebudayan Lokal bugis-Makassar, serta kandungan makna “siri’ na pace”. Makalah ini disusun  untuk memenuhi mata kuliah Filsafat Ilmu.
“Tiada gading yang tak retak”. Kiranya itulah pribahasa yang pantas untuk menggambarkan isi dari makalah ini. Kritik dan saran yang membangun tentunya akan membuat penyusun lebih baik dalam penulisan makalah dikemudian hari.
Sekiranya makalah ini dapat bermanfaat dan memperkaya wawasan bagi para pembaca semua, khususnya mengenai Filsafat budaya dan budaya Lokal Makassar.
 Semoga Allah menjadikan amalan yang ikhlas mengantarkan kebaikan kepada kita di dunia maupun di akhirat





PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Filosofi yang berkaitan dengan kebudayaan suatu daerah atau masa, kemudian melandasi pemikiran para pelaku di dunia budaya. Istilah filsafat budaya, merupakan hal yang familiar bagi para budayawan dan filusuf, dimana kedua cabang keilmuan tersebut telah melahirkan pemikiran baru yang lahir dari penggabungan dari keduanya, sebuah pemikiran yang pada akhirnya tetap mengena pada filsafat maupun budaya.
Manusia pada dasarnya terpaksa untuk berbudaya setelah budaya tersebut lahir dan dijalankan oleh orang tua manusia sebelumnya. Namun, sebagian besar kebudayaan di dunia merupakan nilai kehakikian dari tingkah laku, pola-pola hidup dan tatanan bermasyarakat yang baik. Khant dan Herbert Marcuse mengatakan bhwa kebebasan pemikiran itu harus di perjuangkan meskipun pada akhirnya manusia akan terbelenggu karena di dunia ini sering terjadi pertentangan dan ketegangan antara kebebasan pemikiran dan ilmu pengetahuan. Herbert Marcuse juga menggambarkan lingkaran hidup manusia yang pada akhirnya akan tetap terkurung oleh kemajuan teknologi itu sendiri, karena manusia terobsesi untuk mengendalikan alam.
Ketika seseorang mengeluarkan sebuh filsafat budaya, maka apa yang ada dipikirannya bukan hanya sebatas budaya, tetapi lebih dari itu. Mungkin sesuatu yang juga mendukung burjalannya suatu kebudayaan atau hal-hal yang mempengaruhi kebudayaan baik secara langsung maupun tidak.
Nilai mrupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam setiap aspek kehidupan dan dalam konteks hukum, nilai ini menjadi sesuatu yang menjadi landasan atau acuan dalam penegakan hukum, nilai ini hidup dalam suatu masyarakat dan menjadi falsafah hidup dalam masyarakat tertentu. Masyarkat Bugis Makassar mempunyai falsafah hidup yang sangat dijunjungnya yaitu siri’ na pacce’. Siri’ na Pacce’ dalam masyarakat Bugis sangat dijunjung tinggi sebagai falsafah dalam segala aspek kehidupan, dan hal ini juga berlaku dalam aspek ketaatan masyakarat terhadap aturan tertentu (hukum), dengan pemahaman terhadap nilai (siri’ na pacce’) ini sangat mempengaruhi masyakarat dalam kehidupan hukumnya.
Lantas, mengapa budaya yang memfilsafatkan para cendekia muda Makassar justru lekang di gerus waktu, dan terkikis oleh laju modernisasi. Hukum Negara saja hamper tidak laku dimata ketakutan anarkis mereka, apalagi hanya berbau hukum budaya. Padahal, Ketika berbicara hukum, maka tidak terlepas dari konteks hukum dimana keberadaan suatu masyarakat itu berada, jadi ketika berbicara masalah nilai Siri’ na Pacce’ tidak terlepas dari konsep penegakan hukum di Indonesia, dan telah menjadi pengetahuan umum bahwa penegakan hukum nasional kita sangat kuat didominasi oleh The civil law system (CIV) yaitu selalu dimulai dari penciptaan perundang-undangan, yaitu notabene bersifat abstrak. Sebagaimana diketahui sistem tersebut berbeda dari The common law system (COL), yang pada dasarnya tidak mendasarkan pada perundang-undangan abstrak, melainkan pada penciptaan kaidah-kaidah konkret. Oleh karena itu, sistem ini lebih mendasarkan pada keputusan pengadilan atau sistem stare decisis. Menimba ilmu dari sumber ilmu yang tepat tentu akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada latar belakang masalah, penulis mengidentifikasikan permasalahan yang dirumuskan sebagai berikut:
a)      Apa definisi dari filsafat budaya ?
b)      Apa definisi dari siri’ na pacce ?
c)      Apa IMBAS dari para “perantau” di luar Makassar atas kisru yang terjadi?
d)     Apa peranan siri’ na pace dalam menekan anarkisme mahasiswa/ pelajar Makassar ?
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, penulis dapat menentukan tujuan dari penulisan makalah ini sebagai berikut:
a)      Mengetahui definisi dari filsafat budaya.
b)      Mengetahui definisidari siri’ na pace.
c)      Imbas anarkisme yang terjadi di Makassar terhadap para pelajar/perantau di daerah lain.
d)     Mengetahui peranan siri’ na pace dalam menekan anarkisme mahasiswa/ pelajar Makassar.
D.    Prosedur Pemecahan Masalah
Adapun prosedur pemecahan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Penulis mencari dan mengumpulkan beberapa sumber yang relevan dengan materi yang akan dikaji.
2.      Penulis melakukan pemilihan materi yang layak untuk dikemukakan dalam makalah ini.
3.      Penulis menarik kesimpulan atas data yang telah diolah.























PEMBAHASAN
A.    Filsafat Budaya
Filsafat budaya sebenarnya telah lahir jauh sebelum istilah postmodern itu mucul, dengan kata lain, ada banyak kemungkinan nilai dan makna telah kehilangan jati dirinya oleh modernisasi dan postmodernisasi.
Pada era Renaisance saja, orang-orang sudah mulai meninggalkan tradisi lama yang dianggap kolot dan mengadakan pembharuan dengan mencari nilai-nilai baru sebagai usaha untuk mendobrak paham-paham ortodok yang umumnya menolak pemikiran-pemikiran baru atau menentang kebebasan berfikir. Pemikiran seperti itu merupakan satu hal yang berperan penting dalam cara pandang filsafat budaya. Karena, semua penyimpangan norma dari budaya sebelumnya yang dilakukan oleh masyarakat di daerah tertentu, merupakan peraluhan budaya, yang pada hakekatnya merupakan kebudayaan juga, kebudayaan baru.
Pada era postmodern ini, semua yang ada begitu konkret, karena segala hal yang menyangkut apapun, nyaris ada dan dapat tepenuhi. Postmodern dikatakan abstrak karena kebudayaan telah berkembang begitu rumit, skeptic dan penuh kontroversi. Siapapun yang mengikuti kebudayaan postmodern akan melihat kekacauan makna dalam keadaan realitas. Namun, ini semua adalah sebuah filsafat budaya yang lahir dari pemikiran dan proses pemahaman.
B.     Menjaga Siri’ na Pacce’ ditanah rantauan
Sungguh ironis saat tanah leluhur sendiri terkenal bukan dengan kearifan lokalnya, pantai Losarinya yang indah, kuliner-kulinernya, atau prestasi akademiknya. Pengalaman ini ternya jadi kesan pertama dan utama yang terulas pada seluruh perantau Makassar yang sedang melanjutkan study atau yang sudah bekerja dari sabang sampai merauke.
Kekerasan yang terjadi di Makassar seakan jadi “identitas” yang sangat mudah dikenali oleh masyarakat di luar Sulawesi, bukan tanpa dasar, tetapi seakan menjadi “rutinitas” mahasiswa Makassar. Ingat saja pada bulan April lalu puluhan anggota geng motor melakukan pengeroyokan terhadap seorang anggota organisasi massa kepemudaan, Pemuda Pancasila (PP), hingga  Ibrahim syamsuri (mahasiswa UNM) meninggal dunia. Kemudian Pada 20 September  lalu, Tauran antar mahasiswa UMI, menyisahkan Ibrahim (mahasiswa UMI angkatan 2008, Fakultas Teknik Jurusan Elektro) sebagai korban jiwa. Tidak berhenti sampai disitu saja, Selang 22 hari (11/10), giliran mahasiswa UNM menggelar “ritualnya” dengan Resky Munandar dan Herianto sebagai Tumbal “hedonism” para satria kampus (keduanya adalah mahasiswa jurusan Teknik ). Suatu “kelucuan” yang menitikkan kesedihan bagi keluarga korban, karena “pembunuhan” itu diarahkan pada saudara “Fakultas” mereka sendiri. Hal ini jelas bukan mewakili persaudaraan, melainkan mewakili provokasi masalah pribadi dan di selesaikan oleh kelompok yang terprovokasi. Jadilah lahan kampus, bahkan Rumah sakit Haji sebagai arena “lontar jumrah” (melempar saudara sendiri yang dianggap iblis dengan batu dan memang berniat untuk di “habisi”)
Lantas, dimana “agent of change” dari mahasiswa yang sedang tauran itu tertanam? Saat peperangan itu baru usai pasca jatuhnya korban jiwa, kemudian, kemana “moral force” saat  UGD RS. Haji jadi tempat eksekusi “saudara fakultasnya” sendiri, dimana “iron stock” dari mahasiswa yang sedang bertikai itu di sembunyikan? yang harapannya akan menjadi manusia-manusia tangguh yang memiliki kemampuan dan akhlak mulia kemudian dapat menggantikan generasi-generasi “Baharuddin Lopa”. Akhirnya “social control” seakan enggan diakui oleh masyarakat, saat rekan-rekan Mahasiswa yang lain menyuarakan suara rakyat dalam orasi ilmiah dan demonstrasi. Bukankah tauran yang dilakukan oleh sebagian kecil dari mahasiswa akan menjadi “perwakilan” dan “identitas” dari mahasiswa Makassar secara keseluruhan..?, Layaknya “nira” yang merusak susu sebelanga, dan semua mahasiswa “perantau” ikut meminumnya.
Melirik tauran antar pelajar SMA 6 versus SMA 70 gulungan Jakarta selatan(24/9) lalu, memang lebih bersolusi dalam penyelesaiannya, karena tahap perkembangan pola pikir pelajar di usia tersebut masih dalam tahap “intuisi”, masih dapat di bina serta di arahkan pola pikir positivnya. Namun saat kaum Mahasiswa yang menjadi subjek, tentunya akan lebih rumit, pasalnya dalam tahap ini, mahasiswa sudah mampu menentukan paham dan intergitasnya. Imbasnya, Saat kaum intelektual muda ini berulah, tidak ada yang bisa membendung, baik dari Birokrasi jurusan, fakultas, universitas, bahkan aparat penegak hukum, akan kalah oleh “retorika” dari para ‘’rivalitas’’ pimpinan-pemimpin perang dari tiap fakultas. 
Apa solusinya…? Falsafah kaum bugis Makassar sangat mendarah daging di tubuh para ‘’DAENG’’, “ANDI”, “KARAENG”, “AMBO”, dll, bukankah ada “Siri’ na Pacce”?
siri' adalah sesuatu yang 'tabu' bagi masyarakat Bugis-Makassar termasuk mahasiswa dalam berinteraksi dengan orang lain. Sedangkan, pacce mengajarkan rasa kesetiakawanan dan kepedulian sosial tanpa mementingkan diri sendiri dan golongan,  ini  adalah salah satu konsep yang membuat suku Bugis-Makassar mampu bertahan dan disegani diperantauan, pacce merupakan sifat belas kasih dan perasaan menanggung beban dan penderitaan orang lain.
C.    Siri’ na Pacce
Dari  ontologi (wujud) budaya siri' na pacce mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan pandangan islam dan agama lainnya dalam kerangka spiritualitas, dimana kekuatan jiwa dapat teraktualkan melalui penaklukan jiwa atas tubuh. Inti budaya siri' na pacce mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat Bugis-Makassar, karena siri' na pacce merupakan jati diri dari orang-orang Bugis-Makassar termasuk “mahasiswa”. Dengan adanya falsafah dan ideologi siri' na pace, maka keterikatan antar sesama dan kesetiakawanan menjadi lebih kuat, baik dengan sesama suku maupun dengan suku yang lain. Konsep siri' na pacce bukan hanya dianut oleh kedua suku ini (Bugis dan Makassar), tetapi juga dianut oleh suku-suku lain yang mendiami daratan Sulawesi seperti, suku Mandar dan Tator, hanya kosakata dan penyebutannya saja yang berbeda, tetapi falsafah ideologinya memiliki kesamaan dalam berinteraksi dengan sesama. Ketakutan sesepuh, para Ayah dan Ibu Makassar bukan pada “hilangnya” Siri’ na Pacce’ itu, tapi pada keImanan yang menjadi landasan Siri’ na Pacce’ di “transisikan” oleh Determinisem dan Liberalism, sehingga anak “Daeng” ini bebas menentukan orientasi siri’ na pace’ ke paham hedonism yang tak terkontrol.
Dalam manuskrip lontara’ juga menggambarkan siri’ bukan hanya mencakup akibat, tetapi juga mencerminkan diri. Mahasiswa akan merasa malu (siri’) ketika mereka melanggar nilai luhur yang mereka pegang. Sehingga kualitas siri’ akan menurun jika mahasiswamempunyai keinginan yang berlebihan, sebagaimana dalam kasus raja yang kehilangan kekuasaannya karena tindakan tercela (kasiri’ siri’). Fungsi malu dalam konteks siri’-masiri’berperan sebagai alat kontrol sosial. Disinilah ‘’Agent of change” dari mahasiswa baru berlaku secara hakiki.
Entah bagai mana cara kami di perantauan membelaMU MAKASSAR, tentang pandangan miring semua orang terhadapmu. Sebenarnya mereka(suku-suku tempat kami merantau) IBA atas budaya “keras” itu,
Semoga budaya “Siri’ na Pacce’’ yang hakiki dan dijadikan pemahaman, dapat “memahasiswakan mahasiswa” dan mahasiswa dapat menjalankan perannya sebagai agent of change, moral force, iron stock, dan social control sebagai mana mestinya, baru kemudian bisa memanusiakan manusia.

























KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disumpulkan sebagai berikut:
Pertama; sebenarnya, bagi seseorang yang konsekuen dalam pendirian dan dalam mempertegak siri’ dan pacce’, baik seorang petani, pedagang, buruh, pegawai atau pun sebagai pejabat, kemungkinan terjadinya suatu penyelewengan atau penyalagunaan pada bidangnya masing-masing tidak akan terjadi. Terlebih jika sosok mereka adalah Mahasiswa yang merupakan intelek muda.
Kedua; dengan membudayakan siri’ dan pacce’ dalam kehidupan sehari-hari dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari falsafah hidup Bugis-Makassar ini akan menolong orang untuk selalu bersikap adil terhadap diri sendiri, orang di sekitarnya, dan bahkan kepada lingkungannya.
Inilah yang menjadi pesan dari falsafah hidup siri’ na pacce’, diharapkan bagi setiap tindak-tanduk dan peerlakuan terhadap lingkungan masyarakat untuk senantiasa menjunjung tinggi nilai dan makna segala budaya, demi pencapaian harmonis kehidupan



















Daftar Pustaka
Andi Zainal Abidin. 1999. Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan, Cet. Pertama, Hasanuddin University Press, Makassar.
Anneahira.com, postmodernisme dan filsafat budaya. Diakses pada 19 Des 2012
Baharuddin Lopa. 2002. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Cet. Kedua, Penerbit Kompas, Jakarta.
Christian Pelras, 2006, The Bugis, diterjemahkan oleh Abdul Rahman Abu dkk, Manusia Bugis, Cet. I, Penerbit Nalar bekerja sama dengan Forum Jakarta-Paris, EFEO, Jakarta.
Jaya, Fathu, S.Pd. 2012. Menjaga siri’ na Pacce ditanah rantauan. Cet. Kedua, Penerbit Tribun Timur, Makassar
M Syamsudin dkk, 1998, Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, Cet. I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Wawan, 2010, Peran Filsafat dalam Kebudayaan, diakses 19 Des 2013,http://wawantbh.wordpress.com/2010/06/23/peran-filsafat-dalam-kebudayaan/

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar