Filsafat Budaya Lokal Makassar
Abstrak
Sejatinya diadalam
kehidupan sekarang ini Pengembangan kemamapuan Mahasiswa
dalam bidang beretika merupakan salah satu kunci keberhasilan
penigkatan kemampuan dalam memasuki era Global yang semakin menuntut “polarisasi”
Mahasiswa dengan lingkungan sebagai Agent
of Change, moral force, iron stock, dan social control.
Pada prinsipnya, Filsafat yang juga
terkandung dalam kebudayaan di tiap daerah
membekali manusia kemampuan berbagai cara “mengetahui” dan cara
‘mengerjakan” sesuatu yang dapat membantu Manusia memahami alam
sekitar secara mendalam.
Sejak dini sebaiknya budaya sudah
dilibatkan dalam proses kehidupan sesuai taraf perkembangannya
intelektual generasi muda, sehingga pada gilirannya generasi
selanjutnya akan memiliki keterampilan proses dalam beretika dan
berbudaya lokal yang saling bijaksana dari Sabang hingga Merauke.
Yogyakarta, 20 Desember 2014
Andri Apriyan Kusumah
Kata Pengantar
Kata Pengantar
Alhamdulilah puji syukur kepada Alah SWT yang
telah memberikan pengetahuan dan tidak lupa sholawat serta salam moga tercurah
kepada nabi akhir zaman Nabi Muhammad SAW.
Pada dasarnya tujuan akhir dari penulisan
makalah ini ialah agar rekan-rekan mahasiswa dapat memahami
tentang Filsafat kebudayaan dan kebudayan Lokal bugis-Makassar, serta
kandungan makna “siri’ na pace”. Makalah ini disusun untuk memenuhi mata
kuliah Filsafat Ilmu.
“Tiada gading yang tak retak”. Kiranya itulah
pribahasa yang pantas untuk menggambarkan isi dari makalah ini. Kritik dan
saran yang membangun tentunya akan membuat penyusun lebih baik dalam penulisan
makalah dikemudian hari.
Sekiranya makalah ini dapat bermanfaat dan memperkaya
wawasan bagi para pembaca semua, khususnya mengenai Filsafat
budaya dan budaya Lokal Makassar.
Semoga
Allah menjadikan amalan yang ikhlas mengantarkan kebaikan kepada kita di dunia
maupun di akhirat
PENDAHULUAN
Filosofi yang berkaitan dengan kebudayaan
suatu daerah atau masa, kemudian melandasi pemikiran para pelaku di dunia
budaya. Istilah filsafat budaya, merupakan hal yang familiar bagi para
budayawan dan filusuf, dimana kedua cabang keilmuan tersebut telah melahirkan
pemikiran baru yang lahir dari penggabungan dari keduanya, sebuah pemikiran
yang pada akhirnya tetap mengena pada filsafat maupun budaya.
Manusia pada dasarnya terpaksa untuk berbudaya
setelah budaya tersebut lahir dan dijalankan oleh orang tua manusia sebelumnya.
Namun, sebagian besar kebudayaan di dunia merupakan nilai kehakikian dari
tingkah laku, pola-pola hidup dan tatanan bermasyarakat yang baik. Khant dan
Herbert Marcuse mengatakan bhwa kebebasan pemikiran itu harus di perjuangkan
meskipun pada akhirnya manusia akan terbelenggu karena di dunia ini sering
terjadi pertentangan dan ketegangan antara kebebasan pemikiran dan ilmu
pengetahuan. Herbert Marcuse juga menggambarkan lingkaran hidup manusia yang
pada akhirnya akan tetap terkurung oleh kemajuan teknologi itu sendiri, karena
manusia terobsesi untuk mengendalikan alam.
Ketika seseorang mengeluarkan sebuh filsafat
budaya, maka apa yang ada dipikirannya bukan hanya sebatas budaya, tetapi lebih
dari itu. Mungkin sesuatu yang juga mendukung burjalannya suatu kebudayaan atau
hal-hal yang mempengaruhi kebudayaan baik secara langsung maupun tidak.
Nilai mrupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan
dalam setiap aspek kehidupan dan dalam konteks hukum, nilai ini menjadi sesuatu
yang menjadi landasan atau acuan dalam penegakan hukum, nilai ini hidup dalam
suatu masyarakat dan menjadi falsafah hidup dalam masyarakat tertentu.
Masyarkat Bugis Makassar mempunyai falsafah hidup yang sangat dijunjungnya
yaitu siri’ na pacce’. Siri’ na Pacce’ dalam masyarakat Bugis
sangat dijunjung tinggi sebagai falsafah dalam segala aspek kehidupan, dan hal
ini juga berlaku dalam aspek ketaatan masyakarat terhadap aturan tertentu
(hukum), dengan pemahaman terhadap nilai (siri’ na pacce’) ini sangat
mempengaruhi masyakarat dalam kehidupan hukumnya.
Lantas, mengapa budaya yang memfilsafatkan
para cendekia muda Makassar justru lekang di gerus waktu, dan terkikis oleh
laju modernisasi. Hukum Negara saja hamper tidak laku dimata ketakutan anarkis
mereka, apalagi hanya berbau hukum budaya. Padahal, Ketika berbicara hukum,
maka tidak terlepas dari konteks hukum dimana keberadaan suatu masyarakat itu
berada, jadi ketika berbicara masalah nilai Siri’ na Pacce’ tidak
terlepas dari konsep penegakan hukum di Indonesia, dan telah menjadi
pengetahuan umum bahwa penegakan hukum nasional kita sangat kuat didominasi
oleh The civil law system (CIV) yaitu selalu dimulai dari
penciptaan perundang-undangan, yaitu notabene bersifat abstrak. Sebagaimana
diketahui sistem tersebut berbeda dari The common law system (COL),
yang pada dasarnya tidak mendasarkan pada perundang-undangan abstrak, melainkan
pada penciptaan kaidah-kaidah konkret. Oleh karena itu, sistem ini
lebih mendasarkan pada keputusan pengadilan atau sistem stare decisis.
Menimba ilmu dari sumber ilmu yang tepat tentu akan menghasilkan sesuatu yang
bermanfaat.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada
latar belakang masalah, penulis mengidentifikasikan permasalahan yang
dirumuskan sebagai berikut:
a) Apa
definisi dari filsafat budaya ?
b) Apa
definisi dari siri’ na pacce ?
c) Apa
IMBAS dari para “perantau” di luar Makassar atas kisru yang terjadi?
d) Apa peranan
siri’ na pace dalam menekan anarkisme mahasiswa/ pelajar Makassar ?
Berdasarkan rumusan masalah yang telah
dikemukakan, penulis dapat menentukan tujuan dari penulisan makalah ini sebagai
berikut:
a) Mengetahui
definisi dari filsafat budaya.
b) Mengetahui
definisidari siri’ na pace.
c) Imbas
anarkisme yang terjadi di Makassar terhadap para pelajar/perantau di daerah
lain.
D. Prosedur
Pemecahan Masalah
Adapun prosedur pemecahan masalah pada makalah
ini adalah sebagai berikut:
1. Penulis
mencari dan mengumpulkan beberapa sumber yang relevan dengan materi yang akan
dikaji.
2. Penulis
melakukan pemilihan materi yang layak untuk dikemukakan dalam makalah ini.
3. Penulis
menarik kesimpulan atas data yang telah diolah.
PEMBAHASAN
A. Filsafat
Budaya
Filsafat budaya sebenarnya telah lahir jauh
sebelum istilah postmodern itu mucul, dengan kata lain, ada banyak kemungkinan
nilai dan makna telah kehilangan jati dirinya oleh modernisasi dan
postmodernisasi.
Pada era Renaisance saja, orang-orang sudah
mulai meninggalkan tradisi lama yang dianggap kolot dan mengadakan pembharuan
dengan mencari nilai-nilai baru sebagai usaha untuk mendobrak paham-paham
ortodok yang umumnya menolak pemikiran-pemikiran baru atau menentang kebebasan
berfikir. Pemikiran seperti itu merupakan satu hal yang berperan penting dalam
cara pandang filsafat budaya. Karena, semua penyimpangan norma dari budaya
sebelumnya yang dilakukan oleh masyarakat di daerah tertentu, merupakan
peraluhan budaya, yang pada hakekatnya merupakan kebudayaan juga, kebudayaan
baru.
Pada era postmodern ini, semua yang ada begitu
konkret, karena segala hal yang menyangkut apapun, nyaris ada dan dapat
tepenuhi. Postmodern dikatakan abstrak karena kebudayaan telah berkembang
begitu rumit, skeptic dan penuh kontroversi. Siapapun yang mengikuti kebudayaan
postmodern akan melihat kekacauan
makna dalam keadaan realitas. Namun, ini semua adalah sebuah filsafat budaya
yang lahir dari pemikiran dan proses pemahaman.
B. Menjaga Siri’
na Pacce’ ditanah rantauan
Sungguh ironis saat tanah leluhur sendiri
terkenal bukan dengan kearifan lokalnya, pantai Losarinya yang indah,
kuliner-kulinernya, atau prestasi akademiknya. Pengalaman ini ternya jadi kesan
pertama dan utama yang terulas pada seluruh perantau Makassar yang sedang
melanjutkan study atau yang sudah bekerja dari sabang sampai merauke.
Kekerasan yang terjadi di Makassar seakan jadi
“identitas” yang sangat mudah dikenali oleh masyarakat di luar Sulawesi, bukan
tanpa dasar, tetapi seakan menjadi “rutinitas” mahasiswa Makassar. Ingat saja
pada bulan April lalu puluhan anggota geng motor melakukan pengeroyokan
terhadap seorang anggota organisasi massa kepemudaan, Pemuda Pancasila (PP),
hingga Ibrahim syamsuri (mahasiswa UNM) meninggal dunia. Kemudian Pada
20 September lalu, Tauran antar mahasiswa UMI, menyisahkan Ibrahim
(mahasiswa UMI angkatan 2008, Fakultas Teknik Jurusan Elektro) sebagai korban
jiwa. Tidak berhenti sampai disitu saja, Selang 22 hari (11/10), giliran
mahasiswa UNM menggelar “ritualnya” dengan Resky Munandar dan Herianto
sebagai Tumbal “hedonism” para satria kampus (keduanya adalah mahasiswa jurusan
Teknik ). Suatu “kelucuan” yang menitikkan kesedihan bagi keluarga korban,
karena “pembunuhan” itu diarahkan pada saudara “Fakultas” mereka sendiri. Hal
ini jelas bukan mewakili persaudaraan, melainkan mewakili provokasi masalah
pribadi dan di selesaikan oleh kelompok yang terprovokasi. Jadilah lahan
kampus, bahkan Rumah sakit Haji sebagai arena “lontar jumrah” (melempar saudara
sendiri yang dianggap iblis dengan batu dan memang berniat untuk di “habisi”)
Lantas, dimana “agent of change” dari
mahasiswa yang sedang tauran itu tertanam? Saat peperangan itu baru usai pasca
jatuhnya korban jiwa, kemudian, kemana “moral force” saat UGD RS.
Haji jadi tempat eksekusi “saudara fakultasnya” sendiri, dimana “iron stock”
dari mahasiswa yang sedang bertikai itu di sembunyikan? yang
harapannya akan menjadi manusia-manusia tangguh yang memiliki kemampuan dan akhlak
mulia kemudian dapat menggantikan generasi-generasi “Baharuddin Lopa”. Akhirnya “social control” seakan enggan diakui
oleh masyarakat, saat rekan-rekan Mahasiswa yang lain menyuarakan suara rakyat
dalam orasi ilmiah dan demonstrasi. Bukankah tauran yang dilakukan oleh
sebagian kecil dari mahasiswa akan menjadi “perwakilan” dan “identitas” dari
mahasiswa Makassar secara keseluruhan..?, Layaknya “nira” yang merusak susu
sebelanga, dan semua mahasiswa “perantau” ikut meminumnya.
Melirik tauran antar pelajar SMA 6 versus SMA
70 gulungan Jakarta selatan(24/9) lalu, memang lebih bersolusi dalam
penyelesaiannya, karena tahap perkembangan pola pikir pelajar di usia tersebut
masih dalam tahap “intuisi”, masih dapat di bina serta di arahkan pola pikir
positivnya. Namun saat kaum Mahasiswa yang menjadi subjek, tentunya akan lebih
rumit, pasalnya dalam tahap ini, mahasiswa sudah mampu menentukan paham dan
intergitasnya. Imbasnya, Saat kaum intelektual muda ini berulah, tidak ada yang
bisa membendung, baik dari Birokrasi jurusan, fakultas, universitas, bahkan
aparat penegak hukum, akan kalah oleh “retorika” dari para ‘’rivalitas’’
pimpinan-pemimpin perang dari tiap fakultas.
Apa solusinya…? Falsafah kaum bugis Makassar
sangat mendarah daging di tubuh para ‘’DAENG’’, “ANDI”, “KARAENG”, “AMBO”, dll,
bukankah ada “Siri’ na Pacce”?
siri' adalah sesuatu yang 'tabu' bagi
masyarakat Bugis-Makassar termasuk mahasiswa dalam berinteraksi dengan orang
lain. Sedangkan, pacce mengajarkan rasa kesetiakawanan dan kepedulian sosial
tanpa mementingkan diri sendiri dan golongan, ini adalah
salah satu konsep yang membuat suku Bugis-Makassar mampu bertahan dan disegani
diperantauan, pacce merupakan sifat belas kasih dan perasaan menanggung beban
dan penderitaan orang lain.
C. Siri’ na Pacce
Dari ontologi (wujud) budaya siri'
na pacce mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan pandangan islam dan agama
lainnya dalam kerangka spiritualitas, dimana kekuatan jiwa dapat teraktualkan
melalui penaklukan jiwa atas tubuh. Inti budaya siri' na pacce mencakup seluruh
aspek kehidupan masyarakat Bugis-Makassar, karena siri' na pacce merupakan jati
diri dari orang-orang Bugis-Makassar termasuk “mahasiswa”. Dengan adanya
falsafah dan ideologi siri' na pace, maka keterikatan antar sesama dan
kesetiakawanan menjadi lebih kuat, baik dengan sesama suku maupun dengan suku
yang lain. Konsep siri' na pacce bukan hanya dianut oleh kedua suku ini (Bugis
dan Makassar), tetapi juga dianut oleh suku-suku lain yang mendiami daratan
Sulawesi seperti, suku Mandar dan Tator, hanya kosakata dan penyebutannya saja
yang berbeda, tetapi falsafah ideologinya memiliki kesamaan dalam berinteraksi
dengan sesama. Ketakutan sesepuh, para Ayah dan Ibu Makassar bukan pada
“hilangnya” Siri’ na Pacce’ itu, tapi
pada keImanan yang menjadi landasan Siri’
na Pacce’ di “transisikan” oleh Determinisem dan Liberalism,
sehingga anak “Daeng” ini bebas menentukan orientasi siri’ na pace’ ke
paham hedonism yang tak terkontrol.
Dalam manuskrip
lontara’ juga menggambarkan siri’ bukan hanya mencakup akibat, tetapi
juga mencerminkan diri. Mahasiswa akan merasa malu (siri’) ketika
mereka melanggar nilai luhur yang mereka pegang. Sehingga kualitas siri’ akan
menurun jika mahasiswamempunyai keinginan yang berlebihan, sebagaimana
dalam kasus raja yang kehilangan kekuasaannya karena tindakan tercela (kasiri’ siri’).
Fungsi malu dalam konteks siri’-masiri’berperan sebagai alat kontrol
sosial. Disinilah ‘’Agent of change” dari mahasiswa baru berlaku secara
hakiki.
Entah bagai mana cara kami di perantauan
membelaMU MAKASSAR, tentang pandangan miring semua orang terhadapmu. Sebenarnya
mereka(suku-suku tempat kami merantau) IBA atas budaya “keras” itu,
Semoga budaya “Siri’ na Pacce’’ yang hakiki
dan dijadikan pemahaman, dapat “memahasiswakan mahasiswa” dan mahasiswa dapat
menjalankan perannya sebagai agent of change, moral force, iron stock, dan
social control sebagai mana mestinya, baru kemudian bisa memanusiakan manusia.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disumpulkan sebagai
berikut:
Pertama;
sebenarnya, bagi seseorang yang konsekuen dalam pendirian dan dalam
mempertegak siri’ dan pacce’, baik seorang petani,
pedagang, buruh, pegawai atau pun sebagai pejabat, kemungkinan terjadinya suatu
penyelewengan atau penyalagunaan pada bidangnya masing-masing tidak akan
terjadi. Terlebih jika sosok mereka adalah Mahasiswa yang merupakan intelek
muda.
Kedua; dengan
membudayakan siri’ dan pacce’ dalam kehidupan
sehari-hari dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari falsafah hidup
Bugis-Makassar ini akan menolong orang untuk selalu bersikap adil terhadap diri
sendiri, orang di sekitarnya, dan bahkan kepada lingkungannya.
Inilah yang menjadi pesan dari falsafah
hidup siri’ na pacce’, diharapkan bagi setiap tindak-tanduk dan
peerlakuan terhadap lingkungan masyarakat untuk senantiasa menjunjung tinggi
nilai dan makna segala budaya, demi pencapaian harmonis kehidupan
Daftar Pustaka
Andi Zainal Abidin. 1999. Capita
Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan, Cet. Pertama, Hasanuddin University
Press, Makassar.
Anneahira.com, postmodernisme dan filsafat
budaya. Diakses pada 19 Des 2012
Baharuddin Lopa. 2002. Kejahatan
Korupsi dan Penegakan Hukum, Cet. Kedua, Penerbit Kompas, Jakarta.
Christian Pelras,
2006, The Bugis, diterjemahkan oleh Abdul Rahman Abu
dkk, Manusia Bugis, Cet. I, Penerbit Nalar bekerja sama dengan
Forum Jakarta-Paris, EFEO, Jakarta.
Jaya, Fathu,
S.Pd. 2012. Menjaga siri’ na Pacce ditanah rantauan. Cet.
Kedua, Penerbit Tribun Timur, Makassar
M Syamsudin dkk, 1998, Hukum Adat dan
Modernisasi Hukum, Cet. I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Wawan, 2010, Peran Filsafat dalam
Kebudayaan, diakses 19 Des
2013,http://wawantbh.wordpress.com/2010/06/23/peran-filsafat-dalam-kebudayaan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar