Hujan Embun di Antara Doa, Iman dan Cinta
Di
sebuah kelas yang sunyi dan hening ketika pagi hari menunjukkan keceriaannya
bersama burung-burung yang bernyanyi dan sang surya yang selalu tersenyum
menyambut dunia yang bercahaya. Langkah kaki terhenti akan hendak meletakkan
tas selempang ke atas meja. Seorang cewek manis yang mengenakan jilbab putih
melongok sebentar ke arah pandangannya ke depan. Padahal tangannya akan
bergerak meletakkan tas selempangnya ke atas meja namun niat itu batal karena
ia menyadari pandangan seorang cowok yang berkacamata sedang duduk menatap ke
arahnya. Si cewek spontan memerah mukanya karena cowok itu selalu menatapnya
dengan tatapan yang lembut. Setiap kali cewek itu datang pagi-pagi sekali pasti
cowok itu yang pertama kali ada di dalam kelas yang sunyi ini. Entah apa arti
tatapannya? Yang jelas cewek itu tak pernah berbicara lebih dekat dengan cowok
yang terkenal sangat alim di kelasnya.
Cewek itu bernama
lengkap Sarah Hanifah. Ia cewek yang pendiam, pintar, alim dan baik hati. Ia
termasuk cewek yang sangat takut kalau berhadapan dengan cowok. Lalu ia tidak
terlalu suka bergaul sehingga teman-temannya menganggap dia tidak terlalu
menarik. Cewek yang biasa-biasa saja. Dia anak seorang Ustad dan hidup dalam
keluarga yang dididik dengan ajaran agama Islam yang kuat. Karena itulah Sarah
sangat berhati-hati bila berhadapan dengan seorang cowok.
Lalu cowok yang
menatapnya itu bernama Riski Ar Rasyid. Cowok yang pintar, suka memakai
kacamata, supel, alim, ramah dan baik hati. Kulitnya putih bersih. Di balik
kacamatanya itu terdapat kedua mata yang sayu sehingga siapa saja yang
menatapnya akan merasa terpesona akan keindahan kedua matanya. Ia seorang cowok
yang gampang tersenyum karena itu di mana-mana ia mempunyai banyak teman dari
kelas satu, kelas dua bahkan kelas tiga. Ia selalu menatap ke arah Sarah
sehingga Sarah merasa aneh dengan tatapannya itu.
Sarah merasa salah
tingkah bila Riski menatapnya. Ia selalu berusaha menguasai dirinya bila
merasakan salah tingkah itu. Cepat-cepat ia meletakkan tas selempangnya ke atas
meja. Ia buru-buru ingin keluar. Sebelum keluar, ia penasaran ingin melihat
apakah Riski masih memandangnya atau tidak. Ia memalingkan wajahnya ke samping.
Riski masih saja memandangnya dengan aneh dan tiba-tiba Riski melemparkan
senyum manisnya. Sarah semakin memerah mukanya. Jantungnya berdebar dengan
keras. Rasanya tubuhnya bergoncang. Sarah membalas senyuman Riski. Ia segera
kabur ke luar kelas untuk melenyapkan perasaan yang bergejolak di dalam
hatinya.
“Astagfirullah…
Astagfirullah… Astagfirullah! Kata Abi, tidak baik seorang cewek muslimah
menatap seorang cowok dengan lama nanti bakal terjadi zina mata. Ya Allah,
maafkan hambamu ini. Astagfirullah al’azhim,” seru Sarah mengucap istighfar
berkali-kali sambil menutup telinganya dengan kedua tangannya saat di luar
kelas.
Ia terus berjalan dan
berjalan di koridor sekolah hingga menabrak seseorang. Gedubrak!!! Mereka
berdua jatuh bersamaan.
“Aduh..” mereka
berteriak bersamaan.
Sarah mengeluh
kesakitan. Lalu ia menatap orang yang ia tabrak untuk meminta maaf.
“Maaf..”
“Aduh… Sarah, kalau
jalan itu harus hati-hati dong!”
Sarah tersenyum
cengengesan. Rupanya yang ia tabrak itu adalah teman sebangkunya sekaligus
teman dekatnya yang bernama Ana Awwaliyah. Ana mengeluh kesakitan sambil terus
berkoar-koar. Ia cewek yang berambut panjang, cerewet dan galak.
“Maaf Ana.. Sekali lagi
aku minta maaf ya.. aku nggak tahu ada kamu di depan aku. Habisnya aku menutup
mata sih…”
Mereka saling berdiri.
Ana mengelus-elus pantatnya yang sakit. Sarah membersihkan sisa-sisa debu yang
menempel di belakang rok abu-abu panjangnya.
“Iya.. aku maafin..
Ngapain sih kamu jalan sambil nutup mata segala? Memangnya ada apa? Kamu
ketakutan lihat hantu ya..”
“Hantu apaan? Aku
sangat berdebar-debar karena Riski menatap aku dengan aneh lagi.”
“Ha…,” Ana menganga
seperti ikan kehabisan napas.”Oh rupanya, cowok alim itu masih saja memandang
kamu ya.. itulah sudah kubilang kalau Riski memandangmu dengan aneh seperti itu
tandanya ia naksir sama kamu. Kamu toh tak percaya orangnya.”
“Aku nggak yakin.
Akukan tidak boleh pacaran sama Abi aku. Walaupun aku memang suka sama Riski.
Biar saja ini berlalu.”
“Kok bilang berlalu.
Bodoh kamu Sar.. Riski itu cowok alim. Kamu mesti mendapatkan cowok yang
seperti itu. Kalau kamu tidak menyatakan cintamu kepadanya dengan cepat nanti
Riski bakalan disambar orang lain lho.. nanti kamu menyesal lagi terus patah
hati.”
“Masak cewek yang
menembak duluan. Ogah ah.. harusnya cowok yang duluan yang menembak.”
“Tidak ada zamannya
malu-malu lagi. Cewek harus menyatakan cinta duluan. Kalau kamu mau.. aku
temani kamu menemui Riski. Terus tembak dia,” kata Ana tiba-tiba bergerak cepat
meraih tangan kanan Sarah.
Sarah kaget setengah
mati. Ia terseret oleh tarikan Ana.
“Ana.. apa-apaan sih..”
“Pokoknya ikut aja.
Supaya kamu nggak terlalu menutupi dirimu seperti itu.”
“Tapi, aku belum pernah
berbicara dengan Riski sejak kelas satu SMA dulu.”
“Apa alasannya?”
“Entah…,” Sarah
berdelik sambil tersenyum simpul.
Ana terus berjalan
menarik Sarah. Orang-orang yang berdatangan melihat tingkah mereka berdua.
Sarah merasa malu sekali akibat ulah temannya yang satu ini. Mereka menjadi
pusat perhatian. Orang-orang melongo dan tanda tanya hinggap di kepala mereka.
Entah apa yang terjadi kepada dua cewek ini. Sepertinya terburu-buru sekali.
“Ana.. tunggu….,
aku….!”
Belum sempat Sarah
melanjutkan perkataannya. Hatinya berdebar-debar ketika sudah sampai di
kelasnya sendiri. Mereka masuk kelas. Ana langsung menarik kata-kata menantang
sambil tersenyum lebar.
“Riski.. Sarah mau
ngomong sama kamu…..???!!!”
Kelas kosong melompong.
Riski tidak ada di dalam kelas. Mereka melongo sejadi-jadinya. Ana merasa
linglung seperti orang bodoh. Sarah menghelakan napas karena merasa sudah aman.
Tangannya sudah lepas dari pegangan tangan Ana. Ana berdiri sambil menunjuk ke
arah bangku Riski.
“Riskinya mana?”
“Mana aku tahu,” Sarah
mengangkat kedua bahunya.
“Yeh, nggak jadi deh..
aku meletakkan tas dulu ya… Temani aku ke kantin ya Sar..”
Ana membatalkan niatnya
untuk membantu Sarah menyatakan cinta kepada Riski. Ia meletakkan tasnya ke
atas meja. Lalu mereka segera beranjak ke kantin. Sarah merasa terselamatkan
dari niat mak comblang dari Ana. Kenapa Ana tak jadi membantu Sarah menembak
Riski? Ana berubah pikiran dalam sedetik. Susah menebak pikiran cewek yang
cerewet itu. Untung saja tak jadi. Kalau tidak Sarah bakal malu setengah mati
karena menembak seorang cowok atas dorongan ide gila dari Ana. Padahal Sarah
tidak mau pacaran. Ia ingin sendirian dulu untuk terus belajar dengan baik dan
mengejar cita-cita impiannya. Itulah harapan yang tertanam dalam hatinya.
Siapapun tidak akan bisa mencegahnya lagi.
Di dalam kelas yang
ribut, Ibu Eni guru matematika sedang keluar sebentar untuk mengambil sesuatu
di kantor guru. Seisi kelas XII IPS 3 ribut seperti keadaan di pasar.
Suara-suara memecah langit dan menembus telinga yang sudah terbiasa dengan
suasana pecah belah itu. Sebagian cewek-cewek di barisan pertama asyik
menggosip sesuatu. Sebagian cewek-cewek di barisan kedua tenang-tenang saja dan
asyik mengerjakan tugas matematika dari Ibu Eni. Sarah dan Ana termasuk dalam
sebagian cewek-cewek di barisan kedua. Cewek-cewek di barisan kedua termasuk
kelompok cewek-cewek rajin dan pintar. Sementara cewek-cewek yang duduk di
barisan ketiga sedang asyik bermain handphone. Ada yang asyik sms-an. Ada yang
asyik mengambil foto dirinya dengan cowoknya. Ada yang asyik menelepon
pacarnya. Pokoknya cewek-cewek di barisan ketiga kategori cewek-cewek gadget
dan termasuk cewek-cewek anak orang kaya yang paling gaul.
Lalu terakhir
cewek-cewek di barisan keempat termasuk cewek-cewek bandel dan suka meribut
bersama cowok-cowok di kelas yang tukang ribut. Kalau Riski termasuk dalam
barisan keempat dekat cewek-cewek bandel itu. Tapi, dia cowok yang pendiam,
rajin dan tenang di kelas. Sebagian cowok-cowok lainnya berlarian kesana
kemari. Ada yang saling kejar-kejaran. Ada yang asyik melucu. Ada-ada saja
pemandangannya. Siapa saja yang memandangnya pasti akan marah karena saking
ributnya. Pernah juga seisi kelas XII IPS 3 ini dihukum disuruh hormat kepada
bendera sampai istirahat tiba. Dijemur di bawah matahari yang membakar kulit
hingga gosong. Karena satu yang berulah maka semuanya kena imbasnya. Kelas XII
IPS 3 bermacam-macam perangai manusia di dalamnya menghiasi kekompakan
antarkelas ini. Walaupun begitu anak-anak kelas XII IPS 3 ini terkenal sangat
prestasinya di bidang ekskul sekolah. Wali kelasnya saja bangga akan prestasi
murid-muridnya ini walaupun sering menjengkelkan hati.
Namanya anak remaja
sedang menikmati masa-masa terindah saat sekolah di SMAN 7 Pekanbaru ini.
Mereka belum labil untuk menjalani kehidupan yang sangat berbeda dalam
jangkauan pikiran mereka. Mereka hanya bisa berhura-hura. Menghabiskan uang
dari orang tua untuk kepentingan dirinya dan juga sekolahnya. Anak remaja yang
dalam proses mencari jati diri. Masih ingusan dan membutuhkan pembelajaran yang
lebih dan matang dalam ilmu agama dan juga ilmu umum lainnya dari kedua orang
tuanya dan juga dari pihak sekolah. Wajarkan namanya anak remaja itu tahunya
sekolah, berpacaran, kumpul bersama teman-temannya, bersenang-senang dan
pokoknya apa saja. Bila dididik dengan ajaran yang baik, maka anak remaja itu
bakal terarah dengan jalan yang baik pula dan menjadi anak remaja yang
berakhlak mulia.
Beralih ke arah Sarah
dan Ana. Tampaknya mereka sudah selesai mengerjakan tugas matematika itu.
Waktunya untuk bersantai. Ibu Eni belum muncul-muncul juga. Sarah
menghelakan napas beratnya untuk melepas ketegangan sehabis menulis tugas
matematika tadi. Ana sedang membaca buku. Lalu Sarah bertopang dagu dan
melihat-lihat keadaan kelas yang kacau balau habis disapu ombak kebisingan.
Muncul si cewek cantik berambut kuncir bernama Rina datang menghampiri meja
kedua cewek rajin itu. Rina tersenyum sambil menyapa mereka berdua.
“Non.. sudah selesai
tugasnya ya.. pinjam dong.. aku mau lihat,” tanya Rina seperti biasa ingin
mencontek pekerjaannya si Sarah yang jago matematika itu.
“Alah.. mencontek terus
kamu Rin.. Kapan pintarnya kamu?” sergah Ana langsung blak-blakan.
“Jangan gitu dong..
kitakan teman. Seharusnya kita saling membantu,” kata Rina dengan nada merayu
agar mereka mau memberikan buku latihan mereka.
“Alah.. lagak kamu sih, merayu kami agar kami mau membantu kamu mencontek lagi. Kapan seriusnya kamu belajar dan percaya diri dengan kemampuan kamu sendiri.”
“Ana.. sudah.. jangan cerewet gitu, nggak ada salahnya kita pinjam sebentar daripada kamu berceloteh nggak karuan gitu,” bisik Sarah sambil menyerahkan buku latihan miliknya sendiri kepada Rina.”Ini.. Rina, buku latihannya! Jangan dengarkan perkataan Ana. Kamu tahu sendirikan, kalau dia itu cerewet.”
“Thanks.. temanku sayang. Kamu baik sekali… Sarah,” sahut Rina menerima buku itu dengan tersenyum manis.
“Alah.. lagak kamu sih, merayu kami agar kami mau membantu kamu mencontek lagi. Kapan seriusnya kamu belajar dan percaya diri dengan kemampuan kamu sendiri.”
“Ana.. sudah.. jangan cerewet gitu, nggak ada salahnya kita pinjam sebentar daripada kamu berceloteh nggak karuan gitu,” bisik Sarah sambil menyerahkan buku latihan miliknya sendiri kepada Rina.”Ini.. Rina, buku latihannya! Jangan dengarkan perkataan Ana. Kamu tahu sendirikan, kalau dia itu cerewet.”
“Thanks.. temanku sayang. Kamu baik sekali… Sarah,” sahut Rina menerima buku itu dengan tersenyum manis.
“Uh.. enak aja kamu
bilang aku cerewet, Sar!” Ana melipat tangan sambil mengembangkan kedua pipinya
ketika Rina sudah kembali ke bangkunya di barisan ketiga.
“Jangan marah dong An..
Daripada si Rina itu tersinggung. Nanti gengnya itu bakal melabrak kamu
gara-gara kamu terlalu blak-blakan sama Rina. Diamin aja daripada kita nanti
kena masalah sama gengnya Rina.”
“Dasar cewek sok cantik
itu. Kerjaannya contek melulu. Kamu sih.. Sar.. terlalu baik sama orang.
Jadinya, mereka terbiasa meminta tolong kamu mengerjakan tugas mereka dan
memberikan contekan untuk mereka.”
“Nggak apa-apalah. Yang
penting aku suka membantu mereka.”
“Ah.. pusing aku
melihat sikapmu itu. Ya sudahlah, terserah kamu saja.”
“He… he… he…,” Sarah
tertawa cengengesan.
Suasana kelas semakin
bertambah ribut. Seperti akan dilanda perang saja. Telinga ikut berdentang
seakan tidak dapat membedakan mana suara-suara yang lembut, keras dan berisik.
Cowok-cowok bandel sedang bernyanyi melantunkan lagu hijau daun yang berjudul
“Aku dan Air Mataku”. Suara-suara bercampur aduk. Ada yang fals, ada yang
suaranya meloyo dan tidak beraturan. Paduan suara yang berantakan ditambah
dengan suara pekikan dari cewek-cewek yang ikut bergabung dengan cowok-cowok
itu. Suara-suara menjadi hancur dan meloyo dari sudut pandang iramanya. Sebagian
murid-murid yang rajin dan baik selalu duduk manis di bangku masing-masing
tertawa ria melihat tingkah mereka yang tidak malu bernyanyi walaupun suaranya
hancur sekalipun. Asyik-asyiknya bernyanyi sambil menari sekalian di depan
kelas. Benar-benar sudah stres atau apalah. Mereka berlagak seperti artis yang
menyanyi di atas panggung. Tergelak-gelak tanpa arah. Sarah dan Ana juga ikut
tertawa melihat tingkah mereka yang menambah kebisingan kelas XII IPS 3 ini.
Tanpa sadar Sarah menangkap sepasang mata yang menatapnya dari samping. Di
tengah riuh ria begini, Riski kembali tertangkap basah sedang memandang Sarah
tanpa berkedip sambil melemparkan senyum manisnya. Sarah tertegun, heran dan
memandang Riski juga dengan penuh pertanyaan yang melekat dalam pikirannya. Apa
arti tatapannya itu? Ana selalu berkata, itu berarti tandanya Riski suka
kepadamu karena dia ingin memberikan sinyal cintanya kepadamu dengan cara
memandangmu tanpa berkedip untuk memberitahu kamu bahwa dia menyukaimu.
Begitulah menurut Ana. Jika memang Riski menyukai Sarah, kenapa Riski tidak
juga memberikan kepastian kepada Sarah atau menyatakan perasaannya kepada Sarah
sejak dulu? Riski selalu memandang Sarah dengan aneh sejak kelas satu SMA. Dia
selalu memandang Sarah saat masuk kelas, saat pelajaran berlangsung, saat
istirahat di kantin dan di mana saja dan kapan saja. Dia selalu memandang Sarah
tanpa mendekati dan tanpa bicara sedikitpun sejak kelas satu SMA. Selalu
sekelas dan selama itu mereka belum pernah sekalipun bicara. Tanpa mengenal sedikitpun.
Hanya tahu nama dan status sebagai teman sekelas saja. Selebihnya hanya diam
dan hanya bisa memandang tanpa alasan yang jelas.
Selama tiga tahun
terakhir ini, Sarah berusaha mencari tahu alasan Riski memandangnya. Ana juga
ikut membantunya untuk menguak kebenaran pandangan Riski yang begitu teduh.
Mereka menjadi detektif mendadak. Mulai mencari informasi melalui teman
dekatnya dari nomor hpnya, mengenai diri Riski yang tertutup maklum Riski
dikenal sebagai cowok yang pendiam, dan apa saja. Yang paling aktif mencari
informasi itu adalah Ana. Kalau Sarah yang bertindak mencari informasi pasti
dia malu untuk bertanya-tanya kepada teman-teman dekat Riski. Untung saja Ana
mau membantu. Sarah hanya menunggu informasi langsung yang akan disampaikan oleh
Ana.
Sarah masih memandang
Riski dengan lama. Begitu juga dengan Riski. Seakan-akan ada magnet yang
menarik perhatian Sarah untuk tidak menoleh ke arah lain selain memandang terus
ke arah Riski. Riski terus tersenyum hingga teman sebangkunya memergokinya.
Riski kelihatan gugup ketika Andi, teman sebangkunya memukul pundaknya karena
sedari tadi dipanggil-panggil tidak menoleh juga. Dengan wajah sedikit memerah,
Riski berusaha menguasai dirinya.
“Woi.. Bro.. dari tadi
aku panggil-panggil kamu, nggak noleh-noleh juga. Asyik terus menatap sang
pujaan hati,” kata Andi dengan tersenyum nakalnya menggoda Riski.
“Hush.. apa-apaan
katamu itu Di… diam saja, kenapa? Nanti orang tahu. Malu aku kalau ketahuan
kalau aku menyukai temanku satu kelas ini,” bisik Riski menempelkan telunjuknya
ke bibirnya.
“Emangnya kenapa?”
“Kalau ketahuan, nanti
teman-teman sekelas sini nanti bakal ribut. Kamu sendiri tahukan cewek-cewek
sini bermulut ember semua?”
“Ember? Aku nggak lihat
mulut cewek-cewek kelas ini kayak ember. Cantik-cantik malahan..”
“Ya ampun, kamu ini
tulalit atau nggak ngerti bahasa kiasan. Maksudnya cewek-cewek kelas ini suka
menggosip dan kalau ketahuan aku suka sama si Sarah nanti mereka bakal ribut
soal itu. Nanti Sarah bakal malu dan selalu diremehkan oleh mereka. Terus nanti
beritanya menular kemana-mana. Aku dan Sarah jadi bahan gosip, hinaan dan
remehan. Karena itulah aku takut kalau menembak Sarah apalagi Sarah itu tipe
cewek yang taat beribadah, Ayahnya Ustad dan mana boleh dia pacaran. Aku pun
tak pernah sekalipun berbicara sama dia. Mendekatinya pun aku takut nanti
teman-teman sekelas di sini malah memikirkan yang bukan-bukan. Ngeri rasanya
seperti itu.”
“Oh.. gitu.. tapi,
kalau kamu nggak menyatakan cintamu kepada Sarah. Nanti Sarah bakal disambar
oleh orang lain lho.. Kamu tenang-tenang aja. Siapa sih yang nggak suka dengan
cewek alim seperti Sarah itu,” sahut Andi manggut-manggut.
“Biarkan saja dulu.
Sarahkan tipe cewek yang tidak dibolehkan pacaran sama Ayahnya. Aku akan
menunggunya sampai selesai ujian terakhir sekolah. Kalau sudah lulus barulah
aku menembak Sarah.”
“Lagakmu… lama amat
kamu membiarkan Sarah bebas. Kamu yakin pasti mendapatkan hati Sarah.”
“Yakinlah… karena itu
aku sekarang konsentrasi untuk belajar menghadapi ujian UAN. Kalau aku
memikirkan masalah cinta nanti aku nggak konsentrasi belajar pula malah aku
yang nggak lulus.”
“Terus, kenapa kamu
memandang dia?”
“Habis, dia itu
menarik.”
“Ah.. katanya mau
konsentrasi belajar malah memperhatikan cewek pujaannya.”
“Biar tambah semangat.”
“Full spirit dong..”
“Ya.. gitulah.”
Mereka terlibat
pembicaraan yang nakal dan hangat. Meskipun dari nada-nada pikiran dari Riski
sepertinya dia masih meragukan perasaannya terhadap Sarah. Ia masih ingusan dan
bersifat labil. Belum menemukan arti kedewasaan yang sebenarnya. Entah dari
lulus SMA nanti dia menemukan arti cinta yang sebenarnya. Untuk sekarang
biarlah dia bersenang-senang karena merasa jatuh cinta. Begitu dengan Sarah.
Dia sangat menyukai Riski. Dia sudah jatuh cinta kepada Riski sejak pertama
kali Riski memandangnya dengan aneh. Benar-benar perasaan jatuh cinta yang
menyenangkan. Sarah telah menarik pandangannya dari Riski. Sementara ia asyik
bicara dengan Ana. Lalu Ibu Eni masuk ke kelas dan mendadak semuanya
berlari-lari terbirit-birit menuju bangku masing-masing. Ibu Eni kelihatan
merah padam karena menahan amarah mendengar kelas ini ribut sampai ke kantor
guru. Tak lama kemudian hawa panas gunung berapi segera meledak untuk
mengeluarkan lava kemarahannya.
“Kalian anak kelas XII
IPS 3, baru saja ditinggal sebentar sudah seperti anak ayam yang kehilangan
induknya. Ributnya bukan main. Saya sangat sudah kehilangan kesabaran saya.
Kalian semuanya pergi ke luar sekarang juga. Hormat kepada bendera sampai bel istirahat
berbunyi. Saya tidak peduli meskipun sebagian dari kalian yang tidak ikut
meribut. Satu yang berulah, semuanya harus merasakan akibatnya. Ayo, keluar
sekarang juga dan serahkan tugas matematika kalian untuk dikumpulkan di atas
meja saya ini.”
“Ya.. Bu Eni, saya
belum selesai mengerjakannya,” kata seorang cowok mengacungkan telunjuknya ke
atas.
“Saya tidak peduli itu.
Tidak ada yang boleh membantah. Ayo, kumpulkan tugas dan keluar kelas menuju
lapangan untuk menjalani hukuman hormat kepada bendera sampai bel istirahat
berbunyi.”
“Ya..” seru seisi kelas
dengan nada pasrah.
Semua kelas
mengumpulkan buku-buku tugas matematika masing-masing. Lalu di antara mereka
ada yang menyalahkan antara satu dengan yang lainnya.
“Gara-gara Toni tuh,
kena kita semua lagi.”
“Lagi-lagi hormat
kepada bendera. Aduh, bisa hitam nih kulit putihku ini.”
“Ngapain kalian ikut
aku tadi menyanyi?”
“Pokoknya gara-gara
kamu, Ton..”
“Ember… salah sendiri.”
Begitulah kejadiannya.
Ibu Eni memimpin dan mengawasi mereka agar benar-benar menjalani hukuman yang
ia berikan. Alamak, ini karena satu orang yang berulah maka semuanya kena.
Anak-anak kelas XII IPS 3 yang malang. Sarah dan Ana malah berwajah kusut.
Begitu juga dengan Riski. Parahnya berada dalam kelas yang penuh dengan anak-anak
yang bandel. Maka berpeluh-peluhlah mereka dengan mandi keringat dan bau yang
beraneka ragam. Selamat menjalani hukuman buat anak-anak kelas XII IPS 3,
begitulah seruan dari Ibu Eni yang tersenyum terkekeh-kekeh.
Ujian Akhir Nasional
telah berakhir sudah lama. Kini menantikan saat-saat yang paling menegangkan
yaitu menunggu detik-detik kelulusan. Semua anak kelas tiga sudah berkumpul
sejak jam 9 pagi tadi. Kepala sekolah belum juga mengumumkan hasil kelulusan
itu. Tampak mereka sedang kasak-kusuk di tengah aula yang teduh. Anak-anak
tersebut menantikan waktu-waktu yang akan mengejutkan jantung agar tidak
terlalu menegangkan. Mereka ribut sendiri dengan aktifitas masing-masing. Ada
yang berwajah pucat pasi. Ada yang bersikap santai dan tenang tanpa ada sesuatu
yang mengganggu pikirannya. Ada yang sudah menangis duluan sebelum pengumuman
kelulusan diumumkan karena takut tidak lulus. Ada yang berwajah ceria.
Bermacam-macam variasinya dan sangat menarik untuk ditonton. Di tengah lautan
manusia yang sedang sibuk sendiri itu, Sarah dan Ana sangat panik jika tak
lulus. Sesekali Ana memegang kedua tangannya yang menggigil dan terasa dingin
seperti hidup di kutub utara. Pucat pasi dan sayu kedua mata menemani. Sarah
juga takut membayangkan dia tidak lulus karena selama ini banyak masalah yang
menimpa dirinya dan keluarganya.
“Lama amat pak kepala
sekolah mengumumkan hasil kelulusan. Pegal kakiku duduk di lantai aula ini,”
ucap Ana yang langsung blak-blakan.
“Iya.. kita udah tunggu
sejak jam sembilan pagi. Sekarang sudah jam dua belas siang. Capek aku
jadinya,” sambung Sarah yang tidak sabar.
“Kalau sampai aku tidak
lulus, aku akan bunuh diri.”
“Hush.. apa-apaan sih
katamu itu, Ana? Jangan pesimis begitu dong… Kita semua pasti lulus.”
“Habis… aku ini merasa
sangat bodoh.”
“Nggak kelihatan begitu
kok, kamukan sudah berusaha untuk belajar selama ini. Kan, kamu bilang kemarin,
kamu sukses menjawab semua soal ujian itu tanpa merasa kesulitan sedikitpun.
Ingat nggak…”
“Oh… iya…,” Ana manggut-manggut.
“Kenapa bilang mau
bunuh diri? Kalau kamu bilang seperti itu sama saja kamu berdoa yang
bukan-bukan. Kata-kata itukan bisa menjadi doa.”
“Ya… karena kalau aku
nggak lulus. Orang tuaku pasti marah. Akukan bisa jadi stres bila orang tuaku
marah. Aku takut membayangkan itu.”
“Janganlah bersikap
seperti itu, semangat dong..”
“Hm… Iya… sih…
Baiklah.”
Ana tidak merasa
linglung lagi. Tiba-tiba dia mau bilang bunuh diri jika dia tidak lulus SMA di
tahun ini. Benar-benar putus asa dan prasangka buruk kepada keadaan. Lama
sekali mereka mengobrol hingga Kepala Sekolah datang menghampiri aula yang
dipenuhi lautan manusia tersebut. Kepala sekolah memberikan kata sambutan
terlebih dahulu dan memberikan nasehat-nasehat yang baik untuk anak-anak kelas
tiga itu. Kemudian pada ujung yang paling menegangkan, dari kata-kata Kepala
Sekolah yang siap mengancam jantung untuk siap terkejut. Hasil pengumuman
kelulusan akan diumumkan.
“Dari apa yang telah
Bapak sampaikan kepada anak-anak sekalian. Semoga kalian menjadi anak yang
berguna bagi nusa, bangsa dan agama. Setelah Bapak mengumumkan hasil kelulusan
ini, Bapak harapkan anak-anak sekalian dengan lapang dada menerima hasil
keputusan tersebut. Hasil pengumuman kelulusan hari ini semuanya……..”
Kata-kata Kepala sekolah
terputus mendadak dan Beliau memperhatikan wajah-wajah pucat dari para
siswanya. Tanpa menunggu lama, Kepala Sekolah melanjutkan kata-katanya.
“Bapak mengumumkan
semua anak kelas tiga yang Bapak sayangi ini… SEMUANYA LULUS SERATUS PERSEN!!!”
“Hore… kita lulus!”
seru semuanya kompak kegirangan.
Mereka saling
berpelukan dan jingkrak-jingkrak gembira. Sebagian sujud syukur. Ada yang
berteriak senang. Ada yang menangis bahagia. Warna-warni ekspresi kegembiraan
menambah semarak haru biru suasana kelulusan. Ana dan Sarah saling sujud
syukur. Riski juga sujud syukur bersama Andi. Mereka sangat bahagia karena
sudah lulus. Kehidupan baru akan mereka jelajahi demi masa depan yang cerah
benderang.
“Oh ya… Sar.. kamu mau
lanjutkan kemana sudah lulus ini?” tanya Ana sambil tertawa lepas.
“Ah… aku nggak tahu,”
jawab Sarah dengan wajah yang berubah menjadi kusut.
“Lho.. Kenapa nggak
tahu?”
“Kayaknya aku nggak
bisa kuliah di tahun ini.”
“Kenapa?”
“Nggak ada biaya,
makanya aku harus cari kerja dulu untuk mengumpulkan biaya kuliah sendiri.”
“Kasihan kamu Sar…”
kedua mata Ana tampak berkaca-kaca.
“Ya… mau bagaimana
lagi… Oh ya… kamu mau kuliah di mana An…?”
“Aku mau kuliah di
padang. Nama universitasnya aku tak tahu. Pokoknya aku mau menjadi seorang
dokter. Kan, orang tua aku tinggal di padang sekarang.”
“Kita berpisah dong…”
“Hm… Tapi, kita tidak
boleh putus komunikasi. Kita selalu sms-an ya…”
“Oke..”
Sarah tertawa renyah
bersama Ana. Di tengah-tengah manusia yang saling meluapkan kebahagiaan, Riski
memandang Sarah dari kejauhan. Sementara Andi yang berada di sampingnya sedang
berbicara dengan teman-teman lainnya. Riski merasa bahagia melihat senyuman
bahagia dari sang pujaan hatinya. Hatinya mulai tergerak untuk segera
menyatakan cinta yang telah lama ia pendam sejak kelas satu SMA. Riski ingin
melaksanakan aksinya. Langkahnya mulai ia majukan. Tiba-tiba ia melihat wajah
sedih dari Sarah yang tampak mendung dan kusam. Riski membatalkan niatnya untuk
menyatakan cinta kepada Sarah karena suasananya saat ini tidak tepat. Tapi,
perasaannya menggebu-gebu ingin segera keluar untuk menjemput perasaannya yang
lain. Riski menjadi tak enak hati. Hingga Andi memanggilnya untuk berkumpul
dengan teman-teman yang ingin segera pergi konvoi dengan sepeda motor
masing-masing untuk merayakan kelulusan yang terasa besar ini.
“Ris… jadi nggak kita
keliling kota Pekanbaru dengan motor nih…? Semuanya sudah menunggu,” seru Andi
melambaikan tangannya di kejauhan bersama teman-temannya.
“Iya… Jadi, aku segera
ke sana,” balas Riski dengan berteriak keras.
“Cepetan dong…”
“Iya…,”
Riski segera
berlari-lari kecil. Sempat juga ia memandang sebentar ke arah Sarah yang mulai
bergerak meninggalkan aula bersama Ana. Semua orang segera meninggalkan aula.
Sebagian menyalami para guru yang sudah ikhlas memberikan ilmu-ilmunya untuk
murid-murid tanpa mengenal lelah sedikitpun. Sebagian berhamburan ingin konvoi
keliling kota Pekanbaru. Sebagian lagi langsung pulang karena tidak sabar untuk
memberitahukan kabar baik ini kepada orang tuanya.
Riski menghampiri Andi.
Andi langsung memeluk pundaknya dengan erat. Teman-teman segera melangkah cepat
ke arah parkiran sepeda motor. Riski berwajah mendung. Andi yang selalu
tersenyum seperti orang gila itu langsung merasakan perubahan wajah Riski yang
mendadak menurun drastis itu.
“Kenapa, kamu Ris?”
tanya Andi.
“Ah…” Riski mendongak
seperti orang bodoh.”Nggak ada apa-apa.”
“Terus mengapa wajahmu
nggak senang gitu?”
“Suer… nggak ada
apa-apa..” Riski menggeleng-geleng.
“Masa???”
Andi berkerut. Dia
tidak percaya Riski tidak mengalami yang macam-macam. Tapi, wajahnya masih
suram. Seperti orang sedih begitu. Andi berpikir kenapa sobat kentalnya itu
berwajah seperti itu. Setelah lama berpikir, tak terasa langkah kedua kaki
sudah sampai di parkiran sepeda motor. Teman-teman sudah mulai menunggang
sepeda motor masing-masing. Andi mendadak menghentikan langkah Riski yang
hendak mengambil sepeda motornya.
“Tunggu dulu, Ris.. aku
mau bicara sebentar.”
“Apaan?”
“Kalau kamu merasa
gelisah, segera nyatakan cintamu kepada Sarah. Aku merasa kamu sedih karena
itukan? Karena kamu belum juga menembak Sarah untuk mengungkapkan perasaanmu
itu.”
“Ah…” Riski berkerut.
Teman-teman yang sudah
menunggangi motornya masing-masing keheranan melihat Riski dan Andi kelihatan
tegang. Salah satu dari mereka tidak sabar dan ingin segera cepat berangkat.
“Woi… Bro.. Kok malah
ngomong terus dari tadi? Kapan kita berangkatnya. Apalagi nih sudah jam satu
lewat. Yang lainnya sudah duluan daripada kita. Bagaimana nih?”
“Sssst… kayaknya Riski
lagi ada masalah dalam menembak cewek. Si Andi berusaha menyemangati dia agar
segera menyatakan cintanya kepada cewek yang ia sukai,” jawab dari seorang
lagi.
“Wah.. nggak apa-apa..
biar kita tunggu saja.”
Andi dan Riski saling
bicara terus. Hingga Andi memegang bahu Riski dengan wajah yang tegas dan
bijaksana. Biasanya dia berwajah polos dan agak bodoh dalam menanggapi suatu
perkataan. Kini tiba-tibanya ia menjadi dewasa begitu.
“Ayo… cepatlah..
Nyatakanlah cintamu kepada Sarah. Kami akan menunggumu sampai kamu membawa Sarah
agar ikut bersama kita keliling kota Pekanbaru.”
Riski menganga karena
mendengar kata-kata teman tulalitnya ini sudah mulai menyambungkan tiap
perkataan yang terlontar dari mulutnya. Tumben si Andi ngomongnya mantap, seru
Riski di dalam hatinya.
“Baiklah, aku akan
pergi mencari Sarah,” Riski mengangguk pasti.
Teman-teman yang
mendengarkan ikut campur juga untuk mendorong Riski.
“Ayo… Ris.. cepat kejar
cewekmu itu sebelum dia pulang ke rumahnya.”
“Ini saat yang tepat
untuk mengungkapkan cintamu.”
“Iya..”
“Betul… Betul… Betul…”
“Kayak Upin dan Ipin
dong… Betul… Betul… Betulnya.”
“Nggak nyambung.”
Begitulah seruan mereka
yang membuat Andi dan Riski menoleh ke arah mereka dengan tertawa
terkekeh-kekeh. Mereka pun juga ikut tertawa. Riski pun mengacungkan jempolnya
untuk mereka.
“Oke… Bro..”
“Lets go..” seru mereka
kompak.
Riski tersenyum. Dia
segera berlari-lari cepat menyusuri sekolah yang mulai sepi. Ia mencari Sarah
secepat mungkin sebelum ia benar-benar sudah pulang bersama Ana. Dia terus
mencari di berbagai sudut sekolah tapi Sarah tidak kelihatan. Apakah Sarah
sudah pulang? Sudah berkali-kali Riski mencari dan bertanya kepada teman-teman
yang tahu tentang keberadaan Sarah saat ini.
“Nggak tahu, nggak
kelihatan. Mungkin sudah pulang sama Ana.”
“Tadi, barusan aku
nampak dia lagi jajan di koperasi di depan sekolah sama Ana. Lihat aja di
sana.”
Informasi terakhir
itulah yang didapatkan oleh Riski. Dia sudah ngos-ngosan mengejar bayangan
Sarah yang menghilang mendadak. Ia melangkahkan kakinya menuju koperasi yang
berada di luar sekolah. Koperasi mulai sepi. Masih juga ada beberapa
cewek-cewek yang berdiri sambil berceloteh di depan koperasi itu. Tapi, sosok
Sarah tidak tampak. Angan-angan kosong tidak dapat diraih. Riski mulai putus
asa. Sepertinya Sarah sudah pulang bersama Ana. Riski ingin mengejar Sarah
sampai ke rumahnya. Dia juga tidak tahu di mana Sarah tinggal selama tiga tahun
ini. Dia tidak pernah berbicara sedikitpun dengan Sarah. Untuk mendekatinya pun
tidak berani ia lakukan.
Riski kehilangan jejak
Sarah. Koperasi pun ia tinggalkan dengan tangan kosong dan hati yang kecewa. Ia
pun menuju ke tempat parkiran di mana semua temannya menunggu dengan sabar.
Riski berjalan dengan gontai dengan wajah yang tertunduk lesu. Harapan untuk
menembak Sarah hari ini gagal total. Seperti tidak ada hari yang lain. Riski
sangat kecewa.
Setiba di parkiran,
Andi yang menunggu keheranan melihat Riski berjalan dengan lesu seorang diri
tanpa ada sosok Sarah yang berjalan di samping Riski. Teman-teman yang lain pun
juga keheranan dan menganga dengan mulut yang selebar-lebarnya. Riski mendekati
mereka. Lalu Andi memegang bahu Riski dengan wajah iba.
“Kenapa wajahmu lesu
begitu, Ris? Apakah Sarah menolakmu?”
Riski masih diam.
Wajahnya mendongak ke atas langit biru yang penuh awan-awan putih yang berjalan
berdampingan. Napasnya sangat berat. Kemudian ia menghela napas dalam-dalam.
“Sarah tidak menolakku.
Tapi, Kayaknya Sarah sudah pulang bersama Ana. Aku terlambat menemui dia dan
mengungkapkan perasaanku kepadanya.”
Andi tersenyum penuh
arti. Teman-teman yang menunggangi sepeda motor masing-masing itu merasakan
suasana yang sangat hambar. Riski tidak jadi mengungkapkan perasaannya kepada
Sarah.
“Tenang saja, kan masih
ada hari esok. Kitakan besok mengambil ijazah. Kamu masih bisa menyatakan
perasaanmu itu kepada Sarah. Betulkan teman-teman?”
“Betul… Betul… Betul…,”
sorak semuanya.
Mereka tertawa dengan
terkekeh-kekeh. Karena mereka mencoba menghibur Riski yang sedikit gundah
gulana akhirnya membuat Riski ikut tertawa juga. Pada akhirnya Riski mencoba
menghibur hatinya sendiri. Hingga ia memutuskan untuk berangkat konvoi keliling
kota Pekanbaru bersama teman-temannya. Karena keadaan Riski yang belum stabil.
Andi yang menunggangi sepeda motor milik Riski. Mereka bersiap menginjak pedal gas
motornya masing-masing.
“Go… Go keliling
Pekanbaru!!!”
Bruuuumm…!!!
Semua sepeda motor
langsung melaju. Meninggalkan sekolah yang mulai sepi. Perasaan yang belum
terungkapkan makin terasa mendalam di hati. Apakah perasaan itu akan bersatu?
Entahlah yang pasti masih ada esok harinya. Perasaan itu ingin keluar menjemput
perasaannya yang lain. Allahlah yang tahu akan masa depan yang sebenarnya untuk
memastikan kejadian yang akan berlangsung. Riski belum menyatakan perasaannya
kepada Sarah. Sarah belum mengetahuinya. Betapa Riski sangat mencintainya.
Perasaan itu pasti akan sampai kepada Sarah. Sarah akan mengetahuinya. Pasti
akan mengetahuinya.
Sumber : http://chocoalove001.wordpress.com/tag/novel-cinta-islam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar